Blog

  • Sejarah bukan Milik Negara: Menimbang Kritik Peter Carey atas Narasi Tunggal

    Sejarah bukan Milik Negara: Menimbang Kritik Peter Carey atas Narasi Tunggal

    “Kalau saya menjadi bangsa Indonesia, saya akan bilang bahwa saya tidak mau sebuah buku sejarah yang diciptakan oleh negara. Saya mau melihat bahan-bahannya: surat, memoar, catatan harian, laporan dari zaman Belanda, dan saya akan membuat kesimpulan saya sendiri.”

    Peter Carey, sejarawan Inggris, spesialis Indonesia.

    Pernyataan ini disampaikan oleh Prof. Peter Carey dalam sebuah video pendek podcast yang viral di media sosial. Sebagai seorang akademisi yang telah lebih dari separuh hidupnya meneliti sejarah Jawa dan Pangeran Diponegoro, kritik Carey bukan sekadar reaksi spontan terhadap proyek penyusunan ulang buku sejarah nasional oleh pemerintah Indonesia. Ia sedang mengingatkan tentang fondasi etis dan intelektual dalam menulis sejarah: bahwa masa lalu bukanlah milik satu narasi resmi, tapi hasil dari pergulatan banyak suara, banyak luka, banyak tafsir.

    Lantas, apakah sikap seperti Carey adalah cara berpikir “Barat”? Ataukah ini justru panggilan universal untuk menjaga integritas kolektif kita sebagai bangsa?


    Narasi Tunggal dan Daya Kritik yang Tumpul

    Di banyak negara pascakolonial, sejarah nasional sering kali ditulis ulang bukan semata-mata untuk memperkaya pengetahuan publik, tetapi untuk menata ulang identitas politik sesuai kepentingan rezim yang sedang berkuasa. Ini yang disebut oleh banyak sejarawan sebagai sejarah yang top-down, bukan bottom-up. Narasi besar dibuat seolah final—tanpa memberi ruang bagi memoar alternatif, pengalaman lokal, atau bahkan suara korban.

    Carey tidak menolak buku sejarah nasional. Ia menolak sejarah yang diciptakan tanpa akuntabilitas sumber, dan yang disajikan sebagai dogma, bukan diskusi.

    Di titik ini, kita sebagai pembaca sejarah—terutama generasi muda—perlu bertanya:

    Apakah sejarah yang kita pelajari membuat kita berpikir, atau sekadar menghafal?


    Sejarah Sebagai Latihan Berpikir, Bukan Hafalan

    Peter Carey bukan satu-satunya yang menyerukan keterbukaan sumber sejarah. Di Jepang, Korea Selatan, bahkan Vietnam pasca-otoritarianisme, telah muncul kesadaran kolektif bahwa warga perlu diberi akses pada arsip, catatan harian, surat-menyurat, dan laporan resmi agar dapat membentuk pemahaman sejarah yang lebih utuh.

    Carey menempatkan sejarah bukan sekadar sebagai produk, tetapi sebagai proses berpikir. Proses ini mensyaratkan keterlibatan aktif pembaca, bukan sekadar sebagai konsumen informasi, tapi juga sebagai penafsir, penanya, dan bahkan penguji narasi.

    Dalam pendekatan ini, setiap warga negara pada dasarnya adalah sejarawan kecil.


    Apakah Ini “Cara Barat”?

    Pertanyaan yang valid: apakah pendekatan Carey ini barat-sentris dan tidak cocok bagi negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki kompleksitas etnis, budaya, dan sejarah?

    Jawabannya: tidak.

    Justru, dalam tradisi Islam klasik, kita mengenal sejarawan seperti Ibn Khaldun, yang menekankan metode, kritik sumber, dan refleksi sosial dalam penulisan sejarah. Bahkan dalam tradisi lokal Nusantara seperti Babad Tanah Jawi, Serat Centhini, atau hikayat-hikayat Melayu, kita menemukan pentingnya pengalaman personal, narasi lokal, dan memori lisan.

    Artinya, semangat keterbukaan sumber itu bukan milik Barat, melainkan milik peradaban yang menghormati nalar dan warisan pengetahuan.


    ️ Antara Proyek Negara dan Hak Warga

    Pemerintah tentu berhak (dan bahkan perlu) menyusun buku sejarah sebagai panduan pendidikan nasional. Tapi yang dikritik Carey adalah saat buku itu dianggap sebagai satu-satunya versi kebenaran. Ini membahayakan dalam jangka panjang:

    • Menumpulkan daya refleksi dan kritik masyarakat.
    • Menyembunyikan sisi gelap sejarah (korupsi, kekerasan, pengkhianatan, atau pembungkaman suara minoritas).
    • Menjadikan sejarah alat legitimasi kekuasaan, bukan cermin bangsa.

    Sebaliknya, ketika negara membuka akses ke arsip, memoar, catatan kolonial, dan testimoni rakyat kecil, maka bangsa ini memiliki alat untuk menyembuhkan diri, meninjau ulang, dan tidak jatuh pada pengulangan kesalahan.


    ️ Belajar dari Sejarah, Bukan Menggunakannya

    Pernyataan Peter Carey juga menyentil sesuatu yang lebih dalam:

    Bahwa bangsa yang peduli sejarah bukan yang paling banyak mencetak buku sejarah, tapi yang berani menghadapinya apa adanya.

    Ini bukan hanya soal akademis, tapi juga soal keberanian moral. Seperti orang yang dewasa karena berani mengakui kesalahan masa lalunya, sebuah bangsa pun hanya bisa matang jika ia memberi ruang bagi luka sejarah untuk bicara—bukan ditutupi oleh narasi resmi.


    ✍️ Penutup: Sejarah Sebagai Cermin, Bukan Etalase

    Pernyataan Peter Carey bisa saja terdengar sederhana, tapi ia mengandung kekuatan besar: menggeser cara kita memandang sejarah dari benda yang dipajang ke cermin yang menatap balik ke kita.

    Jika sejarah hanya menjadi etalase kebanggaan, maka kita hanya ingin melihat yang indah. Tapi jika sejarah dijadikan cermin, maka kita siap menghadapi borok dan luka, karena hanya dengan itu kita bisa memperbaiki arah langkah ke depan.

    Dan bukankah itu inti dari sejarah—bukan untuk menyesali masa lalu, tapi untuk lebih bijak menghadapi masa kini?


    “Artikel ini merupakan hasil kolaborasi terarah dengan ChatGPT. Semua isi dikurasi dan disunting ulang berdasarkan nalar sendiri dan bukan berhalusinasi, diupayakan selalu merujuk pada referensi jurnal yang bisa digoogling kapan saja.”

     

    Referensi:

    • Video Instagram: Peter Carey, “Kalau Saya Menjadi Bangsa Indonesia…” https://www.instagram.com/reel/DL6c_h5RUCl/
    • Carey, Peter. The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855. Brill, 2007.
    • Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. Tiara Wacana, 2008.
    • Jenkins, Keith. On “What is History?”. Routledge, 1995.

     

  • Ketika Kecerdasan Buatan Tak Lagi Netral: Bijak Memahami Kasus Bocoran OpenAI

    Ketika Kecerdasan Buatan Tak Lagi Netral: Bijak Memahami Kasus Bocoran OpenAI

    Bayangkan Anda sedang berbicara dengan seseorang yang cerdas, cepat tanggap, dan serba tahu. Tapi kemudian Anda tahu bahwa orang itu diam-diam mencatat semua percakapan Anda, bekerja untuk banyak bos dengan kepentingan tersembunyi, dan terkadang menyaring jawaban sesuai arahan mereka. Masihkah Anda percaya padanya?

    Inilah pertanyaan besar yang mengemuka setelah munculnya bocoran besar-besaran yang disebut “The OpenAI Files”—sebuah dokumen yang mengungkap sisi gelap dari perusahaan di balik ChatGPT, yakni OpenAI.

    Apa itu “The OpenAI Files”?

    Bocoran ini bukan berupa satu file, tapi puluhan halaman dokumentasi internal, investigasi independen, dan kronologi keputusan-keputusan OpenAI dari masa lalu hingga sekarang. Beberapa hal yang terungkap antara lain:

    • CEO Sam Altman ternyata punya investasi pribadi di perusahaan mitra OpenAI, menimbulkan konflik kepentingan.
    • OpenAI menggunakan dokumen perjanjian (NDA) yang sangat ketat hingga bisa membungkam pegawainya.
    • Perubahan arah OpenAI dari nonprofit ke perusahaan berbasis keuntungan (for-profit) yang tidak sepenuhnya transparan.

    Beberapa tokoh AI seperti Robert Wiblin menyebut isi bocoran ini “so much crazy shit”—bukan karena hal teknis, tapi karena politik, uang, dan etika yang tak sejalan dengan misi awal “AI demi kebaikan umat manusia”.

    Apa Dampaknya untuk Pengguna Biasa?

    Sebagai pengguna ChatGPT, kita mungkin bertanya-tanya: “Lalu ini semua ada hubungannya dengan saya?” Jawabannya: iya, dan bisa jadi sangat besar.

    Berikut adalah skenario terburuk yang bisa berdampak langsung pada pengguna di Indonesia dan dunia:

    1. Privasi Terancam

    Kalau ChatGPT menyimpan data obrolan tanpa transparansi, informasi pribadi, ide, bahkan keluh kesah Anda bisa digunakan untuk melatih model atau disalahgunakan.

    2. AI Tak Lagi Netral

    Kalau AI diarahkan untuk mendukung agenda politik, ekonomi, atau ideologis tertentu, maka jawaban yang Anda terima bukan lagi hasil pengetahuan netral, tapi hasil manipulasi tak terlihat.

    3. Model Bisa Dibodohkan atau Dikomersialisasi

    Versi gratis ChatGPT bisa sengaja dibatasi kemampuannya agar mendorong pengguna beralih ke versi berbayar. Atau, AI diarahkan hanya untuk mendukung produk tertentu demi keuntungan.

    4. Inovasi Terhambat

    Jika AI hanya dikembangkan untuk mitra eksklusif (Google, Microsoft, dll.), inovator kecil di Indonesia akan semakin sulit bersaing. Padahal AI bisa menjadi alat pemberdayaan global jika terbuka dan adil.

    Bagaimana Kita Bersikap?

    Sebagai pengguna bijak, kita tidak perlu panik. Tapi kita perlu sadar dan kritis. Berikut ini pertanyaan reflektif yang bisa kita pakai untuk menilai apakah layanan AI yang kita gunakan benar-benar layak dipercaya:

    ✅ Transparansi

    • Apakah perusahaan menjelaskan dari mana data pelatihan diambil?
    • Apakah ada info tentang cara kerja model?

    ✅ Perlindungan Data

    • Apakah obrolan saya disimpan atau dianalisis?
    • Apakah saya bisa menghapus dataku?

    ✅ Netralitas & Bias

    • Apakah jawaban yang saya terima terasa condong ke satu sudut pandang?
    • Apakah AI ini terbuka terhadap diskusi sensitif tanpa takut sensor?

    ✅ Akuntabilitas

    • Siapa yang bertanggung jawab kalau AI memberi jawaban salah atau menyesatkan?

    ✅ Etika Bisnis

    • Apakah pengembang AI punya konflik kepentingan?
    • Apakah mereka pernah diaudit oleh pihak luar?

    Akhir Kata: Teknologi Tak Pernah Netral

    Kecerdasan buatan adalah alat. Ia bisa jadi pelita pengetahuan, bisa juga jadi alat kekuasaan. Tergantung siapa yang menggenggamnya.

    Kita tidak anti-AI. Tapi kita perlu mengawal bersama, agar teknologi seperti ChatGPT benar-benar digunakan untuk membebaskan, bukan membatasi. Untuk mencerdaskan, bukan menyesatkan. Untuk memanusiakan, bukan menggantikan manusia.

    “Kecerdasan buatan akan mencerminkan siapa yang menciptakannya. Maka kita harus peduli bukan hanya pada kode, tapi juga pada niat di balik kode itu.”

     

  • Dari Hutan Sulawesi ke Minyak Timteng — Ketika Transisi Energi Menyimpan Dilema

    Dari Hutan Sulawesi ke Minyak Timteng — Ketika Transisi Energi Menyimpan Dilema

    Dunia beralih ke kendaraan listrik, Indonesia kaya nikel. Tapi konflik Iran–Israel merepotkan agenda energi kita — antara mandiri dan tergantung geopolitik.


    Beberapa tahun terakhir, Indonesia menjelma menjadi salah satu aktor kunci dalam peta energi global. Bukan karena minyak atau gas, melainkan karena nikel. Mineral kelabu ini adalah bahan baku utama baterai kendaraan listrik (EV). Dan Indonesia, berdasarkan data dari International Energy Agency (IEA), menyumbang lebih dari 40% produksi bijih nikel global dan menyimpan sekitar 35–51% cadangan dunia.

    Sebagian besar nikel kita berasal dari bijih laterit, jenis yang kurang diminati di masa lalu karena biaya ekstraksi tinggi. Namun karena nikel sulfida makin langka, dunia tak punya banyak pilihan. Maka dari Sulawesi, Halmahera, dan Obi, bijih nikel kita mulai menyuplai kebutuhan Tesla, BYD, hingga sepeda listrik kecil buatan Cina. Pabrik-pabrik pemrosesan seperti HPAL (High Pressure Acid Leaching) menjamur, mengekstrak nikel menjadi MHP (Mixed Hydroxide Precipitate) yang kemudian diproses lebih lanjut menjadi nikel sulfat untuk baterai.

    Namun, semua ini datang dengan harga. Hutan tropis dibabat habis, tanah rusak, air tercemar. Konflik lahan meningkat. Penduduk lokal digusur, hak-hak adat diabaikan. Transisi global menuju “green energy” tampak ironis jika diiringi kerusakan ekologis dan penderitaan sosial.

    Di sisi lain, Indonesia masih bergantung pada BBM. Sekitar 80% kendaraan masih berbahan bakar fosil. Meski pemerintah berupaya mengurangi impor dari Singapura, kebutuhan BBM kini justru diarahkan ke pasar baru: Timur Tengah dan Amerika.

    Lalu, ketika konflik Iran dan Israel kembali memanas pada Juni 2025, harga minyak mentah dunia melonjak. Brent menembus US$ 80 per barel dan diperkirakan bisa mencapai US$ 100–120 per barel jika situasi semakin memburuk. Jalur vital seperti Selat Hormuz — tempat sepertiga suplai minyak dunia melewati — menjadi perhatian serius.

    Dampaknya langsung terasa. Subsidi BBM terancam membengkak. Pemerintah biasanya kembali melempar wacana pengurangan subsidi Pertalite. Seperti biasa, respons publik terbelah. Ada yang mencaci, ada yang pasrah.

    Di tengah semua ini, kita melihat paradoks besar:

    • Indonesia menjadi penyedia penting bahan baku kendaraan listrik dunia.
    • Tapi di dalam negeri, kita tetap bergantung pada BBM dan belum punya ekosistem EV yang matang.
    • Kita ingin transisi energi, tapi justru menjadi korban dari transisi global itu sendiri.

    Lebih jauh, kita belum banyak mengolah nikel menjadi baterai. Kita ekspor bahan mentah atau setengah jadi, sementara negara lain mengubahnya menjadi produk bernilai tinggi. Kita kehilangan nilai tambah, dan masyarakat lokal kehilangan tanah serta masa depan.

    Sebagaimana dikatakan oleh (alm.) Faisal Basri, ekonom senior yang kerap lantang bicara:

    “Jangan mau kita jadi tukang gali, bangsa pengangkut. Kita rugi kalau hilirisasi hanya berhenti di smelter, tapi bukan industri yang punya teknologi.”

    Pernyataan ini sering ia ulang dalam berbagai forum, mengingatkan bahwa hilirisasi tidak cukup jika hanya memindahkan pusat kerusakan tanpa menciptakan nilai tambah bagi bangsa.

    Sementara itu, dari sisi yang mendukung arah pemerintah, ekonom energi seperti Fabby Tumiwa (IESR) melihatnya lebih pragmatis:

    “Indonesia memang belum ideal, tapi kalau kita tidak mulai dari sekarang, kita akan terus tertinggal. Perbaikan bisa dilakukan sambil berjalan.”

    Sementara suara netral datang dari pengamat ekonomi seperti Bhima Yudhistira (CELIOS):

    “Transisi energi kita berisiko jadi kosmetik jika tidak dibarengi perlindungan sosial dan tata kelola yang transparan. Kita harus belajar dari masa lalu agar tidak jadi tumbal industri baru.”

    Tokoh masyarakat adat dari Halmahera, Musa Maloko, dalam wawancaranya dengan Mongabay Indonesia menegaskan:

    “Kami bukan anti pembangunan, tapi jangan jadikan kampung kami korban. Kami hidup dari tanah ini, bukan dari mobil listrik.”

    Sementara Dandhy Dwi Laksono, aktivis lingkungan dan pendiri WatchDoc Documentary, menulis dalam salah satu esainya:

    “Green energy itu perlu. Tapi jangan sampai baju hijaunya dipakai untuk menutupi luka-luka yang diciptakan oleh industri nikel. Transisi yang tak adil adalah kolonialisme baru.”

    Dan dari sisi pemerintah, Menteri ESDM Arifin Tasrif mencoba menenangkan publik:

    “Pemerintah ingin membangun ekosistem baterai dan kendaraan listrik dari hulu sampai hilir. Tapi memang butuh waktu, dan kita tetap harus menjaga daya beli masyarakat dalam prosesnya.”

    Apa yang bisa dilakukan?

    1. Membangun hilirisasi sejati, bukan sekadar smelter, tapi hingga ke produksi baterai dan kendaraan listrik sendiri.
    2. Meningkatkan transparansi dan keadilan ekologis di kawasan tambang agar tak terus terjadi perampasan ruang hidup.
    3. Mengembangkan energi terbarukan domestik agar ketergantungan pada minyak bisa dikurangi, dan transisi energi tak hanya jadi slogan.

    Penutup:

    Dunia mungkin sedang mencoba menjadi lebih hijau. Tapi sering kali, yang hijau justru adalah hutan-hutan yang hilang. Dan yang menderita bukan negara-negara kaya yang membeli mobil listrik, tapi masyarakat di pinggiran seperti Sulawesi, Halmahera, atau kampung kecil yang kamu mungkin belum pernah dengar.

    Transisi energi memang penting. Tapi harus adil. Kalau tidak, kita hanya mengganti satu bentuk ketergantungan dengan yang lain, sambil terus menjarah bumi sendiri.


    Referensi:

    • International Energy Agency (IEA)
    • Benchmark Mineral Intelligence
    • Reuters, The Guardian, Economic Times (Juni 2025)
    • Mongabay Indonesia
    • Kementerian ESDM
    • Kutipan: Faisal Basri (alm.), Fabby Tumiwa (IESR), Bhima Yudhistira (CELIOS), Musa Maloko (tokoh adat), Dandhy Dwi Laksono (WatchDoc), Arifin Tasrif (Menteri ESDM)
  • Chromebook Sekolah: Digitalisasi Pendidikan atau Proyek Tanpa Marwah?

    Chromebook Sekolah: Digitalisasi Pendidikan atau Proyek Tanpa Marwah?

    Antara tahun 2019 hingga 2023, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan—kini Kemendikbudristek—gencar mengadakan perangkat Chromebook untuk mendukung digitalisasi sekolah.

    Perangkat ini terintegrasi dengan akun belajar.id dan diharapkan menjadi tulang punggung pembelajaran daring di sekolah-sekolah negeri.

    Namun, di balik niat baik digitalisasi, pengadaan Chromebook menyimpan masalah serius: mulai dari harga yang mencurigakan, hingga kualitas fisik yang dipertanyakan.

    Kualitas Build Quality

    Dari sumber e-katalog nasional inaproc, harga satu unit Chromebook dipatok rata-rata Rp7,99 juta per unit.

    Anehnya, harga ini berlaku untuk semua merek—baik itu Acer, Lenovo, Axioo, maupun Zyrex—padahal di marketplace seperti Shopee dan Tokped, perangkat baru dengan spesifikasi yang sama bisa didapatkan hanya dengan Rp3,5 juta-Rp.4 juta.

    Spesifikasinya pun identik: Prosesor Intel Celeron N4020 generasi ke 7, RAM 4GB DDR4, Penyimpanan eMMC 32GB, Sistem operasi Chrome OS terhubung akun belajar.id

    Tak ada perbedaan teknis yang berarti antara satu merek dan lainnya, namun perbedaan kualitas fisik sangat terasa.

    Chromebook brand lokal Indonesia Axioo dan Zyrex material bodi keduanya terasa murahan saat disentuh, secara build quality jauh tertinggal dibanding Chromebook buatan luar Acer dan Lenovo.

    Apakah Ini Pengadaan atau Proyek Titipan?

    Fakta bahwa harga diseragamkan dan produk dengan kualitas fisik rendah tetap lolos dan digunakan dalam skala besar menimbulkan pertanyaan: Apakah pemilihan vendor dilakukan dengan transparan dan berbasis kualitas?Mengapa negara rela membayar dua kali lipat dari harga pasar untuk produk sejenis? Apakah ini hanya bagian dari proyek serapan anggaran atau justru lahan “bagi-bagi kue” pengadaan?

    Dalam kasus seperti ini, sangat mungkin terjadi korupsi non-konvensional—tidak selalu melalui suap tunai, tetapi lewat manipulasi harga, pengondisian tender, dan alokasi proyek ke vendor tertentu.

    Kualitas dan kenyamanan pengguna akhir (dalam hal ini: guru dan murid) menjadi korban.

    Jaringan Belum Merata, Chromebook Tak Bernyawa

    Masalah lain yang lebih sistemik adalah soal infrastruktur. Banyak sekolah di Indonesia bagian timur dan wilayah 3T menerima bantuan Chromebook, namun tidak bisa menggunakannya.

    Semua Chromebook membutuhkan login ke akun belajar.id yang hanya bisa dilakukan jika terkoneksi dengan internet.

    Karena server login belajar.id berada di Jakarta, dan banyak desa tidak punya sinyal stabil, maka ribuan perangkat ini mati suri di lemari sekolah.

    Ini bukan kesalahan teknologi, melainkan kegagalan desain program.

    Apalagi kita semua tahu bahwa proyek BAKTI Kominfo yang bertujuan membangun jaringan internet justru dikorupsi, kerugian negara dari proyek ini mencapai triliunan rupiah. Ini jelas memperparah kondisi: perangkat tersedia, jaringan tak ada.

    Kedaulatan Digital dan Dilema OS: Microsoft Windows atau Open Source?

    Seorang pejabat Kejaksaan minggu lalu mengungkapkan bahwa Chrome OS belum cocok diterapkan di Indonesia.

    Ia menyoroti keterbatasan infrastruktur dan ketergantungan perangkat ini pada koneksi internet.

    Namun sebagai orang yang familiar dengan linux , saya memandangnya tidak sesederhana itu.

    Masalahnya bukan pada Chrome OS yang berbasis linux ini. Masalahnya ada pada strategi distribusi dan kesiapan ekosistem.

    Kita terlalu sering menyalahkan teknologi, padahal yang gagal adalah cara kita mengelolanya.

    Chrome OS berbasis Linux dan gratis. Office turunannya juga tersedia dalam versi open source dan gratis.

    Dalam jangka panjang, ini adalah langkah kedaulatan digital.

    Negara besar seperti Indonesia seharusnya mulai membiasakan warga—terutama pelajar dan guru—beradaptasi dengan sistem operasi terbuka yang gratis.

    Bukan malah tergantung terus pada ekosistem seperti Microsoft Windows milik Bill Gates yang serba berbayar. Lisensi windows kudu dibeli, Office word, excel, powerpoint dll kudu dibeli.

    Sebelum Chromebook mencuat, kita pernah mengenal eksperimen serupa: Bantuan Warnet PC desa di era Menkominfo Tifatul Sembiring menggunakan Ubuntu Linux.

    Banyak masyarakat bingung, bahkan menolak, karena tidak familiar. Tapi ketidaknyamanan adalah bagian dari proses transisi.

    Sayangnya, di negeri ini, transisi sering dihentikan karena protes elite atau vendor—bukan karena evaluasi substansi.

    Yang ironis, kita menyalahkan Chromebook karena butuh internet.

    Padahal Windows lebih rakus sumber daya dan sangat bergantung pada aktivasi lisensi dan update bulanan.

    Jika betul kita ingin pendidikan digital yang inklusif, maka kita perlu mendidik warga untuk mandiri secara digital.

    Bukan sekadar memberi mereka laptop bermerk full lisensi windows yang mahal, tapi mengajarkan cara berpikir bebas dari kapitalis yang rakus seperti Microsoft dengan Windows dan turunannya

    Proyek Pendidikan atau Proyek Politik?

    Chromebook didistribusikan ke sekolah-sekolah tanpa jaringan internet, seolah-olah pendidikan digital bisa hidup tanpa listrik dan sinyal.

    Ini bukan kesalahan teknis. Ini kegagalan berpikir. Atau mungkin justru keberhasilan korupsi yang menyamar sebagai inovasi.

    Digitalisasi bukan soal memberi perangkat, tapi memastikan ekosistemnya siap.

    Jika jaringan dikhianati lewat korupsi BAKTI Kominfo, dan perangkatnya dimarkup dua kali lipat, maka anak-anak Indonesia bukan sedang diajari teknologi—mereka sedang dipaksa menonton sandiwara negara.

    Referensi:

    * KPK RI. (2021). *Kajian Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Pendidikan.*

    * ICW. (2023). *Evaluasi Pengadaan Digitalisasi Sekolah.*

    * World Bank. (2020). *Spending Better for Education in Indonesia.*

    * Data e-Katalog, https://katalog.inaproc.id/

  • Starlink: Dari Seattle ke Pulau Kabaena

    Starlink: Dari Seattle ke Pulau Kabaena

    Pada Januari 2015, di sebuah ruangan pertemuan di Seattle, Elon Musk berdiri di hadapan para insinyur dengan sebuah rencana yang terdengar megalomania: membangun kembali internet—tapi kali ini, dari luar angkasa.

    Gagasan ini kemudian melahirkan Starlink, proyek satelit internet milik SpaceX yang bertujuan menghadirkan koneksi cepat dan stabil ke seluruh penjuru bumi, mulai dari kutub hingga khatulistiwa, dari puncak Himalaya hingga… Pulau Kabaena.

    Ya, Pulau Kabaena. Sebuah pulau kecil di tenggara Sulawesi yang lebih akrab dengan pemadaman listrik dan sinyal 2G daripada YouTube atau Zoom. Siapa sangka, sembilan tahun setelah ide besar itu lahir di Amerika Serikat, warga Kabaena kini bisa menjelajah dunia maya lewat jaringan yang melayang di luar atmosfer bumi—para emak-emak kampung pun laris manis memosting dagangannya dalam grup WA jual beli.

    Starlink bukan sekadar proyek bisnis futuristik. Ini adalah jawaban atas kemacetan infrastruktur digital, khususnya di negara-negara berkembang.

    Di balik ambisinya yang tampak luar angkasa, Starlink membawa misi yang sangat membumi: menjangkau tempat-tempat yang selama ini terabaikan oleh menara BTS dan kabel fiber optik.

    Setelah meluncurkan satelit batch pertama pada 2019 dan uji coba publik di 2020, Starlink berkembang pesat.

    Tahun 2024, Elon Musk sendiri hadir di Bali dan Kalimantan untuk meluncurkan layanan Starlink di Indonesia, menargetkan rumah sakit dan sekolah di daerah terpencil. Ini bukan hanya langkah diplomasi teknologi, tapi juga bukti visi global yang ingin diwujudkan—dengan modal kampanye digital yang kuat.

    Namun, di balik kemewahan perangkat Starlink yang dibanderol 6 juta rupiah, muncul pertanyaan: apakah teknologi ini benar-benar inklusif?

    Jawabannya mulai kelihatan pada Mei 2025. SpaceX resmi memperkenalkan paket “Starlink Residential Lite” dengan harga jauh lebih terjangkau, Rp489.000 per bulan.

    Paket ini tak hanya hadir untuk Indonesia, tapi juga Filipina dan Bangladesh—negara-negara yang masih bergulat dengan konektivitas global.

    Kini, warga kampung punya pilihan: menunggu sinyal Telkomsel yang kadang muncul seperti bayangan, atau membeli voucher Starlink yang diecer para pelaku usaha RT/RW Net.

    Di sinilah muncul fenomena baru yang tak bisa diabaikan: internet dari langit dijual eceran oleh para pengusaha kecil—lengkap dengan sistem voucher, Mikrotik, dan Mikhmon—dengan tarif yang sangat bersahabat: Rp6.000 per hari per perangkat atau juga langganan Rp100.000 per bulan per perangkat.

    Buat masyarakat pedalaman, ini berkah. Sebuah solusi nyata yang tak menunggu janji pembangunan. Anak-anak bisa belajar daring, petani bisa tahu harga pasar, dan warga bisa kirim dokumen lewat email tanpa harus ke kota.

    Namun di sisi lain, muncul tantangan yang pelan-pelan akan jadi ganjalan. Para pelaku usaha RT/RW Net ini sebenarnya berada di wilayah abu-abu hukum.

    Mereka menjual bandwidth tanpa izin resmi sebagai ISP (Internet Service Provider), padahal Undang-Undang Telekomunikasi sudah mengatur tentang hal ini.

    Pemerintah memang belum punya solusi konkret untuk menjangkau pelosok desa-desa, tapi cepat atau lambat, penertiban akan terjadi.

    Beberapa daerah di Sumatra bahkan sudah mengalami razia oleh dinas setempat. Teknisi RT/RW Net yang hanya bermodal niat baik dan keahlian jaringan bisa saja dianggap melanggar hukum, meskipun kenyataannya mereka lebih hadir dibanding negara.

    Kehadiran Starlink ini juga membuka dilema klasik pembangunan digital Indonesia: memperluas kabel fiber optik atau mengandalkan satelit? Pemerintah sudah menggelontorkan triliunan rupiah untuk proyek satelit Palapa Ring, tapi hasilnya masih tambal sulam. Banyak daerah tetap gelap digital.

    Starlink memang menawarkan jalan pintas, tapi bukan tanpa risiko. Ketergantungan pada infrastruktur asing, apalagi dari perusahaan sebesar SpaceX, menimbulkan kekhawatiran soal kedaulatan data dan ketahanan jaringan nasional.

    Namun, warga desa tidak bisa menunggu seminar dan rapat panjang. Mereka butuh internet sekarang juga untuk menghubungkan diri ke dunia luar, bahkan jika itu harus datang dari satelit orbit rendah bumi.

    Elon Musk sering bilang, pendapatan Starlink akan digunakan untuk misi manusia ke Mars. Ironisnya, sebelum manusia sempat tinggal di Mars, warga pedalaman sudah lebih dulu “dijangkau” oleh teknologi yang dirancang untuk menembus angkasa.

    Starlink lahir di Seattle, tapi maknanya ditemukan di tempat-tempat seperti terpencil Kabaena, Wakatobi, Sumba, atau pedalaman Papua—wilayah yang selama ini hanya jadi catatan kaki dalam narasi pembangunan digital Indonesia.

    Mungkin, di dunia yang biasanya pembangunan digital berjalan dari kota ke desa, dari Jakarta ke pelosok, Starlink menjadi anomali.

    Ia datang dari luar angkasa, tapi menyentuh tanah dengan cara yang sangat nyata. Bagi banyak orang, ini bukan soal streaming cepat atau YouTube tanpa buffering, tapi soal mengakses dunia yang selama ini hanya bisa dilihat dari titik tertentu.

    Dan bagi Pulau Kabaena, mungkin untuk pertama kalinya, langit terasa lebih dekat dari menara Telkom.


    Referensi:

    • SpaceX (2020–2025). www.spacex.com
    • FCC Public Filings on Starlink, 2016–2022.
    • Reuters & CNBC Reports on Starlink Expansion.
    • Kominfo.go.id – Pengumuman Kolaborasi Starlink di Indonesia (2024)
    • Starlink Updates – www.starlink.com
    • TechCrunch & Ars Technica – Starlink Lite Plan Rollout (2025)

     

  • Waktu yang Membeku: Generasi Pandemi dan Anak 2000-an yang Tiba-Tiba Dewasa

    Waktu yang Membeku: Generasi Pandemi dan Anak 2000-an yang Tiba-Tiba Dewasa

    “Kemarin rasanya mereka masih main lato-lato, sekarang sudah kerja, menikah, bahkan ikut pemilu.”

    • Keluhan sunyi para milenial.

    Dunia yang Berhenti, Tapi Umur Terus Bertambah

    Tahun 2020 datang bukan sebagai babak baru, tapi sebagai jeda yang tak kita minta. Pandemi COVID-19 menyeret seluruh umat manusia ke dalam ritme baru: hari-hari yang membentang panjang, tapi tahun yang berlalu cepat.

    Mereka yang lahir tahun 2003 hingga 2005—dulu kita anggap adik kecil atau anak tetangga yang masih main Mobile Legends di pinggir jalan—tiba-tiba saja muncul di timeline kita sebagai mahasiswa semester akhir, pegawai magang, bahkan pengantin baru. Bukan sulap, bukan sihir. Mereka memang tumbuh. Tapi kita tak sempat melihat prosesnya.


    Distorsi Waktu: Saat Kalender Kehilangan Makna

    Ruth Ogden dari Liverpool John Moores University mencatat bahwa banyak orang selama lockdown merasa waktu jadi tidak normal—terasa cepat dan lambat sekaligus. Ini disebut temporal disorientation (Ogden, 2020), ketika otak kita kehilangan penanda waktu yang biasa: ulang tahun dirayakan lewat Zoom, lebaran tanpa mudik, bahkan tahun baru tanpa kembang api.

    Dalam kondisi ini, otak kesulitan mengarsipkan memori. Waktu kehilangan bentuk. Kita seolah hidup dalam loop.

    “Time feels like a flat circle.”

    • Rust Cohle, True Detective

    Mereka Dewasa Tanpa Kita Sadari

    Remaja yang tumbuh selama pandemi berada di posisi unik. Mereka melewatkan masa SMA yang biasanya penuh kenangan sosial: bolos sekolah, nongkrong di kantin sekolah, cinta monyet, sampai kegiatan les dan ekskul.

    Sebaliknya, mereka “dibesarkan oleh layar”: kelas daring, percakapan lewat WhatsApp, dan eksplorasi identitas dalam ruang virtual. Maka ketika pandemi berakhir, dan dunia kembali buka, mereka muncul ke permukaan seperti generasi yang “tiba-tiba dewasa”.

    Dalam psikologi perkembangan, hal ini mencerminkan role confusion yang terlewati—fase pencarian identitas yang dipotong jalurnya oleh situasi darurat.


    Meme, Humor, dan Luka Kolektif

    Tak heran jika internet dipenuhi candaan seperti:

    “Anak 2003 sekarang pacaran sama temanku. Padahal aku masih ingat dia pakai seragam SD.”

    Meme semacam ini bukan cuma bahan tawa. Ia adalah bentuk terapi sosial, cara generasi yang lebih tua mengakui bahwa mereka kehilangan momen-momen penting. Kita tidak hanya melewatkan ulang tahun orang lain, tapi juga kehilangan rasa kehadiran terhadap tumbuh kembang mereka.


    Kita Menua Tanpa Perayaan

    Bukan hanya Gen Z yang mendadak dewasa. Kita juga menua tanpa perayaan. Banyak dari kita menginjak usia 30 tanpa pesta, tanpa pencapaian, bahkan tanpa momen refleksi yang layak. Karena semua tenaga habis untuk bertahan hidup: secara ekonomi, mental, dan emosional.

    Pandemi telah membuat banyak orang seperti tokoh dalam film fiksi ilmiah: terjebak dalam hibernasi, dan saat terbangun, dunia sudah berubah.


    Penutup: Mari Mengakui Kehilangan yang Tak Terucap

    Kita tidak hanya kehilangan waktu, pekerjaan, atau orang tercinta. Kita juga kehilangan narasi. Kita melewatkan bab penting dalam kisah hidup orang-orang di sekitar kita—terutama anak-anak muda yang seharusnya kita dampingi dalam proses tumbuhnya.

    Maka ketika kita terkejut melihat mereka sudah dewasa, itu bukan karena mereka melompat waktu. Tapi karena kita, para saksi sosial, tidak hadir selama prosesnya.

    Dan mungkin, itu yang paling menyedihkan dari semuanya.


    Referensi:

    • Ogden, R. S. (2020). The passage of time during the UK Covid-19 lockdown. PLoS ONE, 15(7), e0235871. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0235871
    • Tufekci, Z. (2021). Pandemic as rupture: Society in suspended animation. New York Times / The Atlantic
    • Psychology Today. (2021). Temporal Disorientation and Pandemic Time Perception.
    • Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis.
  • Efek Domino Bunuh Diri dan Tanggung Jawab Media: Belajar dari Kasus Jembatan Teluk Kendari

    Efek Domino Bunuh Diri dan Tanggung Jawab Media: Belajar dari Kasus Jembatan Teluk Kendari

    Peringatan: Artikel ini membahas topik bunuh diri. Jika Anda atau orang terdekat Anda mengalami krisis, segera hubungi layanan kesehatan mental terdekat.

    Dalam sepekan terakhir, Kota Kendari dikejutkan oleh tiga peristiwa tragis: aksi bunuh diri dan percobaan bunuh diri di Jembatan Teluk Kendari. Ketiga kejadian ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah ada efek berantai dari tindakan bunuh diri? Dan apa peran media dalam memperkuat atau mencegah fenomena ini?

    Dalam kajian psikologi dan kesehatan masyarakat, terdapat istilah suicide contagion atau efek penularan bunuh diri. Fenomena ini menggambarkan bagaimana satu tindakan bunuh diri, jika dipublikasikan secara luas dan tidak bijaksana, dapat mendorong individu lain yang rentan untuk melakukan hal serupa. Ini bukan sekadar teori. Beberapa kasus di luar negeri menjadi bukti nyata.

    Di Bridgend, Wales, antara 2007 hingga 2009, sebanyak 25 remaja melakukan bunuh diri. Investigasi menunjukkan pola pelaporan media yang repetitif dan sensasional turut memperburuk situasi. Demikian pula di Amerika Serikat, lonjakan pencarian informasi bunuh diri tercatat setelah kematian selebritas seperti Robin Williams, Kate Spade, dan Anthony Bourdain.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan panduan peliputan untuk media agar tidak menyebutkan metode bunuh diri secara rinci, tidak melebih-lebihkan motif, serta menyertakan informasi layanan bantuan di akhir artikel. Sayangnya, sebagian media daring di Indonesia justru sebaliknya: menampilkan kronologi, metode, bahkan foto lokasi kejadian secara detail, tanpa disertai edukasi atau himbauan apapun.

    Fenomena terbaru di Kendari patut menjadi refleksi. Jembatan yang menjadi landmark kota itu kini berubah menjadi simbol duka. Ketika media lokal terus menyoroti insiden dengan tajuk mencolok tanpa etika, bisa saja terjadi efek domino berikutnya.

    Oleh karena itu, penting bagi media untuk menyadari perannya dalam menjaga kesehatan mental publik. Setiap redaksi seharusnya memiliki pedoman peliputan kasus bunuh diri, dan mewajibkan adanya peringatan di awal tulisan. Ini bukan soal membatasi kebebasan pers, melainkan menyelamatkan nyawa manusia.

    Kita juga sebagai masyarakat perlu lebih peka. Jangan ikut menyebarkan berita yang tidak etis, dan mari dorong media untuk lebih bertanggung jawab.

    Karena satu nyawa yang terselamatkan, lebih berarti dari seribu klik berita.


    Butuh bantuan? Kamu tidak sendiri.

    Jika kamu atau orang terdekatmu sedang mengalami tekanan psikologis atau pikiran untuk menyakiti diri sendiri, segera hubungi:

    Sampaikan bahwa kamu butuh bantuan. Hidupmu sangat berarti.

    Referensi:

    • WHO. (2017). Preventing suicide: A resource for media professionals.
    • Niederkrotenthaler et al. (2010). Role of media reports in completed and prevented suicide: Werther vs. Papageno effects. The British Journal of Psychiatry.
    • BBC. (2009). Wales suicide cluster linked to media coverage.
    • Pusat Krisis Kesehatan Indonesia: www.kemkes.go.id
    • Into The Light Indonesia: www.intothelightid.org
  • Matinya Kepakaran dan Kegaduhan Opini: Sebuah Refleksi dari Pinggiran

    Matinya Kepakaran dan Kegaduhan Opini: Sebuah Refleksi dari Pinggiran

    Saya belum pernah membaca langsung buku The Death of Expertise karya Tom Nichols, namun saya merasa sedang hidup di dalamnya. Buku itu, sebagaimana dijelaskan oleh banyak ulasan, mengisahkan tentang menurunnya penghargaan terhadap kepakaran dan tumbuhnya keyakinan bahwa semua orang berhak merasa benar—tanpa dasar, tanpa data, tanpa nalar. Di Indonesia, gejala ini bukan hanya hadir, tapi berkembang dengan sangat gamblang.

    Setiap hari saya menyimak kanal YouTube seperti Guru Gembul, Bennix, Prof. Rhenald Kasali, Gita Wirjawan, Dr. Indrawan Nugroho, hingga dr. Ryu Hasan. Mereka adalah figur-figur yang mencoba membumikan pengetahuan kepada publik, menjembatani jurang antara kompleksitas ilmu dan kehidupan sehari-hari. Namun ironisnya, beberapa dari mereka justru dicemooh oleh sebagian orang sebagai “sok tahu”, “pencari panggung”, atau bahkan dianggap sebagai simbol matinya kepakaran karena terlalu sering bicara.

    Tentu, bukan karena mereka tidak kompeten. Tetapi karena kita hidup di era di mana opini pribadi yang dangkal bisa sepadan viralnya dengan riset panjang seorang ilmuwan. Di sinilah ironi Nichols menjadi relevan: ketika informasi melimpah, kebijaksanaan justru menyusut.

    Nichols membagi fenomena ini ke dalam beberapa lapis: dari sistem pendidikan yang memanjakan mahasiswa layaknya pelanggan, hingga ilusi bahwa pencarian Google setara dengan bertahun-tahun riset akademik. Dalam masyarakat kita, saya menyaksikan itu tiap hari. Seseorang yang baru membaca satu utas Twitter merasa cukup untuk menyepelekan dokter. Seorang influencer yang baru menonton satu film dokumenter tiba-tiba berani mengkritik kebijakan ekonomi nasional.

    Kita sedang mengalami kegaduhan epistemik: siapa pun bisa bicara apa pun, dan semakin yakin, semakin dianggap benar. Rasa hormat terhadap ilmu dan proses berpikir mendalam mulai luntur. Guru dianggap lebih bodoh dari orang tua murid. Dokter dianggap lebih licik dari pasien. Dosen dibilang kuno oleh mahasiswa yang baru lulus.

    Namun dalam keterpurukan ini, ada secercah harapan. Kanal-kanal edukatif yang saya sebut tadi adalah bukti bahwa masih ada yang mencoba menyalakan pelita di tengah gelapnya keramaian. Mereka mungkin bukan “ahli dalam segala hal”, tapi mereka sadar bahwa pengetahuan harus dibagi, dan percakapan sehat harus dirawat.

    Sebagai warga yang hidup dari pinggiran, jauh dari pusat-pusat diskursus akademik, saya bersyukur bisa mengakses ragam pengetahuan ini secara daring. Tapi saya juga resah. Sebab setiap kali diskusi bernas dibagikan, selalu ada komentar nyinyir yang meremehkan tanpa dasar. Inilah tantangan kita ke depan: membedakan antara kritik dan kedengkian, antara pertanyaan tulus dan olokan kosong.

    Nichols benar bahwa demokrasi butuh warga yang bisa berpikir, bukan sekadar bersuara. Kepakaran bukan menara gading, melainkan fondasi peradaban. Dan kalau fondasi ini terus kita hancurkan karena ego dan sinisme, jangan salahkan bila suatu hari kita hanya dikelilingi kebisingan tanpa makna.


    Referensi:
    Nichols, T. (2017). The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters. Oxford University Press.

  • Matinya Kepakaran atau Demokratisasi Pengetahuan?

    Matinya Kepakaran atau Demokratisasi Pengetahuan?

    “Bukankah kepakaran di hari-hari ini seolah-olah mati karena ia tidak dibutuhkan lagi?” — Seorang penulis buku

    Di linimasa yang ramai dengan hiburan, gosip selebritas, dan konten viral, muncullah satu dua suara yang terasa asing—suara yang membawa ulang suara buku, jurnal, dan renungan harian dari ruang baca ke layar ponsel kita. Sosok seperti Guru Gembul lewat kanal youtubenya dengan tekun merangkum literatur akademik, lalu mengaitkannya dengan realitas moral, etika, bahkan kebijakan publik, dalam bentuk video pendek yang konsisten muncul setiap hari.

    Tentu, konsistensi ini tidak selalu disambut dengan tangan terbuka. Ia kerap dituding sebagai representasi dari “matinya kepakaran”—istilah yang merujuk pada banalitas informasi dari sosok bukan akademisi formal namun berbicara bak ahli di berbagai topik. Tapi apakah benar yang kita saksikan adalah “kematian” kepakaran? Atau justru bentuk baru dari transformasi pengetahuan di abad digital?

    Dulu Ilmu Dikawal Menara Gading

    Di era sebelum internet, pengetahuan dikawal oleh institusi: universitas, jurnal akademik, konferensi ilmiah. Akses terhadap ilmu tidak hanya dibatasi oleh biaya dan struktur sosial, tapi juga oleh bahasa dan formatnya. Pengetahuan, dengan segala terminologinya yang kaku dan metodologinya yang baku, tidak dirancang untuk masyarakat awam.

    Namun kini, teknologi telah membuka celah. Orang-orang seperti Guru Gembul, Bennix, Ferry Irwandi hingga Prof Rhenald Kasali, Gita Wirjawan dan dr. Ryu Hasan menghadirkan format yang lebih cair, lebih pop, dan lebih dapat dicerna. Mereka memecah pagar jargon akademik agar publik bisa ikut berpikir.

    Apakah ini buruk?

    Kepakaran yang Tak Lagi Eksklusif

    Profesor Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise (2017) menyatakan bahwa “terlalu banyak orang saat ini merasa bahwa karena mereka memiliki akses terhadap informasi, maka mereka tidak membutuhkan pakar.” Ia khawatir bahwa masyarakat kehilangan rasa hormat terhadap para ahli.

    Tapi penting juga untuk bertanya: apakah semua pakar masih relevan? Apakah mereka semua masih berbicara dengan publik, atau hanya berbicara di antara sesama pakar dalam ruang tertutup?

    Dalam artikel jurnal oleh Rüdiger & Dayé (2020) yang membahas kepercayaan terhadap kepakaran, disebutkan bahwa munculnya “alternative experts” adalah hasil dari kegagalan komunikasi publik oleh institusi ilmiah sendiri. Dalam konteks ini, sosok seperti Guru Gembul bukan penyebab kematian kepakaran, melainkan gejala dari krisis keterhubungan antara sains dan masyarakat.

    Perluas, Bukan Sempitkan

    Saya bukan pengikut buta para intelektual populer. Saya menyimak konten mereka setiap hari, tapi juga menelaah, menyanggah, bahkan tak setuju pada banyak titik. Tapi menurut saya, justru di sinilah nilainya: kita boleh tidak sepakat. Karena diskusi yang sehat selalu dimulai dari kebebasan berpikir dan keberanian untuk berdialog.

    Kita tidak perlu menuntut “sertifikat keahlian” dari setiap orang yang berbicara, tapi bisa menilai dari cara berpikir, referensi, dan konsistensinya.

    Pengetahuan bukan warisan eksklusif segelintir orang. Ia adalah ruang bersama yang bisa diperluas oleh siapa pun yang membaca, merenung, dan berbagi secara bertanggung jawab.

    Jangan Tumbangkan Kepakaran, Tapi Kawal Bersama

    Alih-alih saling meniadakan, kita perlu ruang dialektika antara kepakaran akademik dan kebijaksanaan populer. Akademisi perlu turun ke ruang publik. Intelektual digital perlu terus menyempurnakan etikanya. Dan masyarakat perlu mengasah daya saring, bukan hanya daya serap.

    Karena yang mati bukan kepakaran, tapi mungkin cara lama dalam menyampaikannya.


    Referensi:

    1. Nichols, T. (2017). The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters. Oxford University Press.
    2. Rüdiger, B., & Dayé, C. (2020). Reassembling expertise: Towards a politics of epistemic pluralism. Social Epistemology, 34(2), 111-121. https://doi.org/10.1080/02691728.2019.1706110
    3. Waisbord, S. (2018). Truth is What Happens to News: On Journalism, Fake News, and Post-Truth. Journalism Studies, 19(13), 1866–1878.

     

  • Ketika Pasangan Memutuskan Berhenti Membuahi: Evolusi, Scarcity, dan Makna Baru Keberlanjutan

    Ketika Pasangan Memutuskan Berhenti Membuahi: Evolusi, Scarcity, dan Makna Baru Keberlanjutan

    “Scarcity bukan hanya soal pangan dan air. Ia juga soal kasih, makna, dan arah hidup.”

    Dalam dunia yang makin padat, panas, dan penuh distraksi, keputusan sepasang manusia untuk berhenti membuahi—tidak punya anak—terasa seperti renungan kecil yang mengusik logika evolusi. Bukankah manusia adalah makhluk yang bereproduksi demi meneruskan gen? Jika sepasang manusia memilih untuk keluar dari siklus itu, apakah ia masih relevan dalam narasi besar evolusi?

    Untuk menjawab itu, kita perlu menyatukan benang merah antara lima konsep besar: scarcity (kelangkaan), ilmu ekonomi, keberlanjutan hidup, evolusi, dan contoh nyata dalam keseharian manusia modern.

    Scarcity: Dunia Ini Tidak Pernah Cukup

    Scarcity adalah titik mula dari segala pilihan. Air bersih yang langka, energi yang terbatas, pangan yang tak selalu tersedia. Ini bukan teori. Di banyak desa di Indonesia, listrik sering padam, sinyal internet lemah, dan air pegunungan perlu disaring karena kandungan kapur tinggi.

    Scarcity bukan hanya soal kebutuhan fisik. Ia juga muncul dalam bentuk waktu yang terbatas, cinta yang tak selalu hadir, hingga ruang hidup yang kian sempit.

    Scarcity inilah yang memunculkan ilmu ekonomi—bukan sebagai hitung-hitungan uang, tapi sebagai seni memilih dan mengelola yang terbatas. Ketika kita memutuskan membeli pulsa ketimbang nasi, atau memilih bertahan di desa meski infrastrukturnya tertinggal, kita sedang memainkan peran ekonomi mikro yang sangat nyata.

    Evolusi: Dari Gen ke Gagasan

    Dalam biologi, evolusi berarti adaptasi. Makhluk hidup berevolusi agar bisa bertahan. Yang lemah tersingkir. Yang bisa menyesuaikan diri, bertahan dan berkembang. Salah satu mekanismenya: reproduksi.

    Namun manusia bukan makhluk biasa. Kita bisa menolak naluri biologis demi pilihan sadar. Kita satu-satunya spesies yang bisa menunda atau menolak punya anak—karena alasan etika, ekonomi, atau spiritual. Dalam kerangka ini, kita sedang memasuki fase evolusi baru: evolusi nilai dan budaya.

    Richard Dawkins dalam The Selfish Gene menyebut konsep meme sebagai unit pewarisan kultural. Artinya, pasangan yang tidak punya anak biologis bisa tetap “bereproduksi” lewat nilai, karya, gagasan, dan jejak kontribusi sosial.

    Keberlanjutan: Evolusi Tak Lagi Soal Jumlah

    Di dunia yang makin sempit ruang dan sumber dayanya, keberlanjutan (sustainability) menjadi kunci. Bukan lagi tentang memperbanyak populasi, tapi tentang bagaimana mempertahankan kualitas hidup yang layak—untuk semua, sekarang dan nanti.

    Pasangan yang memilih tidak punya anak, tapi justru menanam pohon, mengajar anak-anak orang lain, membangun sistem energi alternatif, atau membuat konten reflektif yang menginspirasi banyak orang, telah berkontribusi pada keberlanjutan secara esensial.

    Keputusan personal itu mungkin tampak kecil, tapi dalam konteks sistemik, itu adalah bagian dari narasi evolusi kolektif. Dunia tidak kekurangan manusia, tapi kekurangan manusia yang peduli dan sadar diri.

    Contoh Nyata: Adaptasi dalam Keseharian

    Di tempat-tempat terpencil, ketika negara absen dan sumber daya terbatas, masyarakat tak tinggal diam. Mereka merakit antena WiFi, memakai UPS untuk menyalakan Starlink saat listrik padam, atau membeli air galon hasil filtrasi RO agar tak sakit ginjal.

    Itu adalah bentuk evolusi sosial. Tekanan scarcity mendorong manusia menciptakan solusi, meski dengan sumber daya terbatas.

    Pun dalam konteks personal: banyak pasangan yang tidak memiliki keturunan namun berperan besar sebagai pengasuh, pendamping hidup, relawan komunitas, hingga penulis gagasan-gagasan penting yang membentuk opini publik. Mereka juga bagian dari spesies yang berevolusi—meski tanpa membuahi secara biologis.

    Penutup: Evolusi Tidak Selesai, Ia Berubah Bentuk

    Ketika pasangan berhenti bereproduksi, bukan berarti ia berhenti berevolusi. Ia hanya pindah medan: dari gen ke gagasan, dari tubuh ke nilai, dari reproduksi ke kontribusi.

    Scarcity mengajarkan kita bahwa tak semua hal bisa kita miliki. Evolusi mengajarkan kita bahwa yang bisa bertahan bukan yang terkuat, tapi yang paling mampu beradaptasi. Dan keberlanjutan mengajarkan kita bahwa kadang, cara terbaik mencintai masa depan adalah tidak menambah beban, tapi menjaga apa yang sudah ada.

    Maka, jangan kecilkan peran para pasangan hanya karena tidak punya anak. Mungkin ia tak meneruskan darah, tapi ia sedang meneruskan cahaya.

    Referensi:

    1. Mankiw, N. Gregory. (2018). Principles of Economics (8th Edition). Cengage Learning.
    2. Dawkins, Richard. (2016). The Selfish Gene (40th Anniversary Edition). Oxford University Press.
    3. Meadows, Donella H. et al. (2004). Limits to Growth: The 30-Year Update. Chelsea Green Publishing.
    4. UNFPA Indonesia. (2023). Laporan Kependudukan Indonesia: Bonus Demografi dan Tantangan Menuju 2045.
    5. Nugroho, Riant. (2020). Manajemen Pemerintahan dan Pembangunan Berkelanjutan. Gadjah Mada University Press.
    6. Kirk, Dudley. (1996). “Demographic Transition Theory.” Population Studies, 50(3), 361–387.
    7. Kementerian PPN/Bappenas. (2021). Strategi Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim Indonesia 2045.